Tanggal 22 Maret 2018 adalah ulang tahun P. Ramlee. Tanpa sengaja saya menemukan doodle di Google untuk memperingati hari kelahirannya. Kemudian saya pun berselancar di dunia maya dan menemukan beberapa artikel tentang P. Ramlee. Kemudian laman yang saya buka berpindah menuju youtube dan menemukan salah satu film karya P. Ramlee yang berjudul Pendekar Bujang Lapok.

Film ini cukup familiar bagi saya karena dulu pernah menonton film ini. Perkenalan saya dengan film P. Ramlee terjadi pada awal tahun 2001 ketika saya melancong ke Malaysia. Tidak sengaja saya menonton film Bujang Lapok di rumah Mak Tuo saya di Malaysia yang telah menjadi warga negara sana.
Saat itu salah satu TV lokal Malaysia yang menayangkan film bujang lapok. Saya meyakini bahwa film Pendekar Bujang Lapok yang saya tonton di youtube beberapa hari yang lalu adalah film yang sama persis dengan film yang saya tonton pada tahun 2001 itu. Salah satu dialog yang saya ingat adalah jampi yang dibacakan para bujang lapok itu. “Hei mambang tanah, mambang air, mambang api, mambang angin… berdampinglah denganku wahai si mambang”.
Saya ingat kata “mambang” karena pernah ada Wakil Gubernur di asalku, Riau, juga bernama Mambang, lengkapnya Mambang Mit.
—
Kemudian laman youtube yang saya buka menuju ke halaman History Channel. Film dokumenter yang menceritakan tentang kisah hidup P. Ramlee, yang kemudian menjadi salah satu bahan referensi tulisan ini :D.
Nama lengkapnya Teuku Zakaria bin Teuku Nyak Puteh. Lebih dikenal dengan nama panggung Puteh Ramle, kemudian disingkat menjadi P. Ramlee. Lahir di Penang, 22 Maret 1929. Ayahnya adalah pelaut yang berasal dari Aceh dan ibunya kelahiran Butterworth, Malaysia.
P. Ramlee adalah bintang film terkenal pada era 1950an-1970an. Menyutradarai 35 film, 34 film sekaligus menjadi pemain. Total ia bermain di 66 film, juga menciptakan dan menyanyikan lebih dari 360 lagu yang banyak dipakai untuk soundtrack film-film tersebut. Film karyanya telah mendapatkan lebih dari 30 perhargaan. Sedangkan total dari penjualan film dan lagu tsb telah menghasilkan lebih dari 1 miliar dolar.
Kemampuan aktingnya sangat baik. Beliau dijuluki Charlie Chaplin-nya Asia, bintang Hollywood di era film hitam putih. Diberi gelar Bintang Kebesaran Darjah Panglima Setia Mahkota oleh Yang Dipertuan Agung Malaysia pada tahun 1990. Sehingga di awal nama beliau ditambahkan gelar Tan Sri.
Rumah tinggal beliau dijadikan museum dan namanya diabadikan sebagai salah satu nama jalan di pusat Kota Kuala Lumpur. Tetapi siapa sangka pada penghujung hidupnya, beliau dihancurkan dan mendapat penolakan besar-besaran, filmya dibuat tidak laku, hingga jatuh miskin dan meninggal karena serangan jantung tanggal 29 Mei 1973 di usia 44 tahun.
—
Karir P. Ramlee dimulai saat berakhirnya Perang Dunia ke 2. Awalnya ia berkenalan dengan musik ketika masuk latihan militer dan berlatih musik dengan tentara Jepang saat Perang Dunia 2. Awalnya ia dipaksa berlatih dengan tentara Jepang. Setelah Jepang kalah, maka perang berakhir dan P. Ramlee kembali ke Penang.
Saat di Penang, ia bertemu dengan salah satu sutradara film dari Shaw Studio Singapura. Kemudian si sutradara mengundang P. Ramlee dan temannya untuk audisi di Shaw Studio Singapura sebagai musisi di studio itu.
Si sutradara juga memberikan 2 tiket kereta api ke Singapura. Pada pagi itu tanggal 8 Agustus 1948, bertepatan dengan idul fitri, berangkatlah ia beserta temannya. Mereka merayakan hari raya idul fitri di dalam kereta api. P Ramlee dan sahabatnya Sukardi,
Sepanjang perjalanan ia melihat semarak hari raya Idul Fitri. Perjalanan di 1 Syawal menjadi awal karir P. Ramlee memasuki industri film, melalui Shaw Studio yang berlokasi di Jalan Ampas, Singapura.
Kemudian mereka ikut tes di studio tersebut namun gagal. Temannya kembali ke Penang sedangkan P. Ramlee tetap di Singapura. Ia menetap di studio dengan cara melakukan melakukan apapun pekerjaan yang ada karena kecintaannya terhadap seni sambil berharap akan mendapatkan tawaran suatu hari nanti.
Ia melanjutkan pekerjaan sebagai pembantu perlengkapan syuting, bagian lampu, penyanyi latar, hingga diberi kepercayaan bermain di film pertamanya berjudul Chinta tahun 1948 sebagai pemeran pembantu (supporting). Film itu menjadi titik awal dimulainya karir cemerlang P. Ramlee.
Setelah itu ia bermain sebagai pemeran pembantu di beberapa judul film hingga dipercaya menjadi pemeran utama dalam film Bakti. Perannya sebagai seorang pahlawan karena kemampuannya yang baik dalam menyanyi. Setelah film Bakti, ia terus mendapat kesempatan menjadi Pemeran Utama hingga dan membuat namanya semakin terkenal.
Setiap bertambah film yang dibintanginya, maka semakin bertambah popularitas dan kebintangannya. Film yang dibintangi Ramlee hampir semuanya disutradarai oleh sutradara keturunan India. Sehingga dalam film itu selalu disisipkan unsur-unsur India. Seperti adegan bernyanyi dari balik pohon hingga adegan atap rumah bocor di rumah keluarga miskin.
Ramlee ingin mengubah keadaan unsur India itu namun ia hanya sebagai pemeran. Akhirnya ia dapat kesempatan menyutradarai film berjudul “Semerah Padi”. Film itu berbeda dari film kebanyak lain yang memiliki pengaruh India mengganggu dominasi film-film India pada masa itu.
Puncak perseteruan Ramlee terjadi pada tahun 1957. Saat itu, ia menjadi sutrada film berjudul “Panca Delima” yang skenarionya dibuat oleh salah satu anggota keluarga pemilik Shaw Studio. Itu adalah satu-satunya film yang disutradarai tapi tak dibintangi oleh P. Ramlee.
Saat penayangan perdana, seluruh sutradara di bawah Shaw Studio ikut hadir menyaksikan. Di pertengahan film, Run Run Shaw sang pemilik studio tiba-tiba teriak menyuruh menghentikan film, menghidupkan lampu, dan berdiri.
Ia berteriak sambil memaki sutradara yang hampir semuanya keturunan India dengan kata-kata lebih kurang seperti ini, “Sutradara macam apa kalian ini, satu anak muda bisa buat film yang bagus seperti ini, tapi kalian sutradara berpengalaman tak bisa bikin film seperti yang dia buat ini”.
Makian dari Shaw meninggalkan kebencian para sutradara senior terhadap P. Ramlee. Sejak itu ia diberi gelar anak emas Shaw Studio. Apapun yang ia minta maka akan dipenuhi oleh Shaw Studio. Setelah tahun itu, bermunculan film-film baru buatan Ramlee yang semuanya menjadi film laris dan mendatangkan banyak uang hingga penghargaan internasional.
Bahkan pada Festival Film Asia ke 10 tahun 1963 di Tokyo, panitia mencipatakan 1 penghargaan khusus untuk P. Ramlee lewat film Ibu Mertuaku, Most Versatile Talent atau Pemeran Serba Bisa. Pengharagaan ini didapat karena aktingnya bermain saxophone dalam film “Ibu Mertuaku”. Saat itu banyak orang percaya bahwa ia bisa memainkan itu. Penghargaan ini membuat reputasi P. Ramlee sebagai pembuat film handal di Shaw Studio tidak tertandingi.
Ramlee semakin diboikot namun filmnya semakin laris dan semakin bertambahlah kebencian orang kepadanya. Hinaan dan cercaan dari wartawan tak menghalangi Ramlee untuk terus berkarya. Hingga akhirnya ia lelah saat mendapat tawaran dari Merdeka Film Studio di Malaysia. Studio itu memberikan tawaran untuk membuat film berwarna, impian Ramlee yang tidak ia dapat di Shaw Studio. Akhirnya tahun 1965 ia memutuskan kembali ke Malaysia sekaligus untuk menghindari pemboikotan dari wartawan.
Setelah pindah, ia membuat 18 film, tapi tak satupun yang berwarna dan tak satupun yang menjadi box office seperti film-filmnya terdahulu saat bersama Shaw Studio.
Dikarenakan alat-alat syuting yang ada di Merdeka Film tidak selengkap saat di Shaw Studio. Juga kru yang bekerja kurang berpengalaman. Kemudian karena persaingan pasar pada era 1960an. Masuknya pengaruh film Holywood, India, China, dan film-film Indonesia. Mulai populernya band seperti The Bee Gees, The Rolling Stones, The Beatles lewat lagu-lagu berirama pop, rock, blues, dan reggae.
Semuanya semakin menenggelamkan lagu dan film melayu karya P. Ramlee. Ditambah lagi peran media yang menjelekkannya sejak ia keluar dari Shaw Studio. Bahkan saat di Malaysia yang kampung halamnnya, media tetap memojokkan dan ingin menjatuhkan P. Ramlee.
Ramlee bercerita kepada temannya, Dato’ Ahmad Nawab. Ia sedih ketika ia kembali ke negaranya, orang tak menghargai dia. Apa salah dan dosa dia. Penolakan terhadap karir akting, bernyanyi, dan sutradaraan-nya, maka lengkaplah penghinaan terhadapnya.
Tahun 1972-1973 adalah masa suram bagi P. Ramlee. Tanpa ada tawaran untuk bermain film, bernyanyi, hingga sutradara, membuat ia jatuh miskin. Hingga ia harus bernyanyi pada pesta pernikahan untuk mencari uang. Bahkan membuka tempat permainan mahjong untuk menambah pendapatan.
Dalam satu kunjungan Aziz Sattar rekan lamanya salah satu pemain di film Bujang Lapok, ke rumahnya di Kuala Lumpur. Aziz mendapati P.Ramlee sedang makan nasi dengan telor sebagai lauknya.
Akhirnya ia meninggal pada 29 Mei 1973 di usia 44 tahun. Usia yang belum terlalu tua dan sebenarnya masih bisa berkarya jika mendapat dukungan. Tapi saat itu tak ada satupun yang peduli, bahkan Malaysia sekalipun yang merupakan tanah kelahirannya.
—
Kakak ipar P.Ramlee, Mariani Ismail menyebutkan, “kalau dulu ia dapat gelar Tan Sri waktu masih hidup, saya bangga. Tapi ia dapat gelar itu setelah meninggal, saya tak rasa apa-apa, hanya rasa sedih. Sesudah ia pergi, baru diagung-agungkan orang. Masa dia hidup, tak ada orang peduli.”
Mustafa AR, wartawan Malaysia yang juga dekat dengan P. Ramlee. “Ini adalah kebiasaan manusia. Ketika seseorang masih hidup, ia tidak dipedulikan orang. Tetapi ketika ia telah meninggal, barulah orang sadar jika beliau telah menghasilkan sesuatu yang baik dan tak bisa dilupakan begitu saja, bahkan bisa diingat terus sepanjang sejarah.”
Sehingga gelar Tan Sri yang beliau dapat setelah meninggal, dianggap terlambat. Walau bagaimanapun, beliau adalah bintang besar yang saya yakin film dan karyanya masih akan terus dikenang dan didengar orang hingga bertahun-tahun yang akan datang. Rasanya kita boleh sepakat jika beliau tidak tergantikan. Seperti salah satu judul lagu yang dibuatnya, “Di Mana Kan Kucari Ganti” orang seperti Tan Sri Puteh Ramlee.
Sepakat??