Saat tulisan ini dibuat, saya sedang berada di Kota Bima, Nusa Tenggara Barat. Saya sedang menjalani impian dan membuat sejarah baru bagi hidup saya (lebay), begini ceritanya :
Awal tahun 2011
Sore itu kira-kira beberapa hari setelah merayakan malam tahun baru di Bundaran Besar Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Sekitar 36 Kilometer dari bundaran itu ada sebuah kampung bernama Sei Gohong (masih bagian dari Kota Palangkaraya). Di kampung itu saya bersama beberapa teman mendiskusikan sebuah tema bernama Millenium Development Goal’s (MDG’s).
Salah satu poin dari MDG’s yang dibahas sore itu adalah pendidikan (dari total 8 poin MDG’s). Agak berat memang, tapi kami diharuskan membahas tema itu, terutama pendidikan di Indonesia.
Salah satu isu yang dibahas adalah kekurangan guru terutama di daerah pedesaan yang jauh dari perkotaan. Kemudian sore itu tercetus sebuah jawaban dari seorang teman yang mengikuti diskusi. Sebuah jawaban bernama Indonesia Mengajar, yaitu mengirim guru ke desa-desa. Setelah hari itu hanya itu yang saya tau sekilas tentang Indonesia Mengajar, mengirimkan guru ke desa-desa.
Pertengahan 2011
Di satu malam sekitar pertengahan Tahun 2011, saya membaca retweet salah seorang teman (namanya Dini) di akun twitter nya. Retweet itu membawa saya menuju alamat web bernama Indonesia Mengajar.
Ingatan saya langsung melayang ke sore hari di awal tahun 2011 saat diskusi membahas MDG’s tema pendidikan. Kemudian saya lanjutkan pencarian dan membawa saya ke sebuah surat terbuka dari Bapak Anies Baswedan, berikut linknya.
Berikut beberapa bagian dari surat terbuka itu:
…Saat ini saya dan banyak kawan seide sedang mengembangkan program Indonesia Mengajar, yaitu sebuah inisiatif dengan misi ganda: pertama, mengisi kekurangan guru berkualitas di Sekolah Dasar, khususnya di daerah terpencil; dan kedua menyiapkan lulusan perguruan tinggi untuk jadi pemimpin masa depan yang memiliki pengetahuan, pengalaman dan kedekatan dengan rakyat kecil di pelosok negeri.
Kami mengundang putra-putri terbaik republik ini untuk menjadi Pengajar Muda, menjadi guru SD selama 1 tahun. Satu tahun berada di tengah-tengah rakyat dipelosok negeri, di tengah anak-anak bangsa yang kelak akan meneruskan sejarah republik ini. Satu tahun berada bersama anak-anak di dekat keindahan alam, di pesisir pulau-pulau kecil, di puncak-puncak pegunungan dan di lembah-lembah hijau yang membentang sepanjang khatulistiwa.
Saya yakin pengalaman satu tahun ini akan menjadi bagian dari sejarah hidup yang tidak mungkin bisa Anda lupakan: desa terpencil dan anak-anak didik itu akan selalu menjadi bagian dari diri Anda. Di desa-desa terpencil itu para Pengajar Muda akan menorehkan jejak, menitipkan pahala; bagi para siswa SD disana, alas kaki bisa jadi tidak ada, baju bisa jadi kumal dan ala kadarnya tapi mata mereka bisa berbinar karena kehadiran Anda….
Setelah saya baca lebih lanjut tentang Indonesia Mengajar, saya tertarik untuk ikut. Sayangnya kegiatan tersebut mengharuskan syarat minimal pendidikan S1 dan saat itu saya masih menyusun skripsi, tepatnya baru berniat menyusun skripsi :D.
Maret 2012
Saya mengikuti sebuah seminar pendidikan dengan tema “Education For Diversity”. Sebenarnya alasan saya ikut karena pembicara seminar itu adalah Bapak Anies Baswedan. Orang yang surat terbukanya saya baca dan kemudian dikenal sebagai salah satu pengagas Gerakan Indonesia Mengajar.
Kegiatan yang kami bahas saat diskusi MDG’s pada awal tahun 2011 itu. Rangkuman seminar itu saya tulis di sini. Setelah ikut seminar itu, keinginan saya makin kuat untuk ikut ambil bagian dengan ikut Indonesia Mengajar, menjadi Pengajar Muda. Tetapi lagi-lagi, saat itu saya belum jadi sarjana karena skripsi saya baru masuk bab 2.
November 2012 – Februari 2013
Sekitar bulan November 2012 saya dinyatakan lulus sidang skripsi dan baru bisa wisuda di bulan Februari 2013. Pada bulan Desember 2012 saat itu sedang ada pembukaan rekrutmen Pengajar Muda angkatan ke 6. Karena syarat minimal sudah diraih, maka saya beranikan mendaftar walaupun belum wisuda.
Saya ikuti proses pendaftaran yang mengharuskan menulis essai mengapa ingin menjadi Pengajar Muda dan juga beberapa pertanyaan lain yang harus dijawab. Tetapi saya mendapat email balasan yang intinya saya belum bisa melanjutkan ke tahapan seleksi berikutnya (tidak lulus).
November 2013 – Tulisan Ini dibuat
Setelah gagal pada rekrutmen Pengajar Muda angkatan 6, saya kembali beranikan diri untuk mendaftar di rekrutmen Pengajar Muda angkatan 8 yang pendaftarannya mulai dibuka pada bulan November 2013.
Saya coba membuat essai dengan lebih serius dan menjawab pertanyaan dengan lebih baik. Pendaftaran ditutup pada pertengahan Desember 2013 dan saya baru mengirim berkas sekitar beberapa jam sebelum pendaftaran itu ditutup, HAHAHA.
Tanggal 6 Januari 2014 saya mendapat email balasan yang menyatakan saya lolos seleksi administrasi dan berhak ikut ke tahap selanjutnya, yaitu Direct Assesment (DA). Akhir Januari 2014 saya berangkat ke Medan untuk mengikuti DA.
Tanggal 12 Februari saya mendapat email lanjutan yang menyatakan saya lulus tes Direct Assesment dan berhak ikut tes tahap selanjutnya yaitu Medical Check Up (MCU). Kemudian saya berangkat ke Jakarta untuk ikuti tes MCU. Kemudian tanggal 3 Maret 2014 saya mendapat email yang awal paragraf 1 nya berisi seperti ini :
Saudara Ryanda Adiguna yang kami hormati.
Kami dari gerakan Indonesia Mengajar dengan gembira mengabarkan bahwa Anda terpilih untuk mengikuti Training Pengajar Muda angkatan VIII!
Kemudian akhir paragraf kedua berisi:
Kami percaya bahwa program ini dapat memberikan pengalaman hidup yang berharga bagi apapun yang akan anda kerjakan di masa depan.
Setelah email itu diterima itu, saya sudah melalui pelatihan intensif Pengajar Muda 8. Di dalamnya diisi pelatihan kepemimpinan dan kepengajaran selama dua bulan. Ditambah survival di hutan yang bikin ga bisa mandi 4 hari, hingga harus makan makan pisang. Dan sekarang saya berada di penempatan Pengajar Muda 8, yaitu di Desa Laju, Kecamatan Langgudu, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat.
Cerita selama di sini akan coba saya bagikan di blog ini.
Salam.