Seolah ada kesan, melahirkan lewat proses non-cesar (normal) adalah prestasi. Tulisan ini dibuat untuk yang sering membahas ini.
***
Beberapa bulan belakangan ini aku mendapat kabar gembira dari beberapa teman yang sudah menikah. Satu per satu mereka positif hamil, mungkin hikmah dibalik adanya pandemi covid. Kalau kata jokes bapack-bapack, “di rumah aja untuk menghindari terkena positif covid eh malah jadi positif yang lain”, (hahaha).
Aku jadi teringat setahun lalu saat persiapan kelahiran Mahira, putri pertama kami. Istri semangat ikut kelas persiapan lahiran ke sana-sini. Mulai dari senam hamil, yoga ibu hamil, yoga ibu hamil berpasangan dengan suami, sampai ikut kelas merawat bayi (menggendong, memandikan, memasang bedong, dst). Persiapan maksimal menunggu kelahiran yang dinanti.
Melahirkan tentu jadi momen yang ditunggu. Tapi terkadang juga jadi momok menakutkan apalagi untuk yang baru menjalani pertama kali. Salah satu yang menakutkan adalah proses kelahiran. Lahiran normal atau cesar seringkali jadi topik pembahasan. Sepertinya ada konotasi bahwa lahiran normal menjadi idaman sedangkan (cesar) terasa terpinggirkan.
“Semoga bisa lahiran normal ya”, kata salah satu keluarga.
“Kalau bisa lahirnya normal ya, karena proses pemulihan cesar itu cukup lama. Bahkan ada yang rasa sakitnya ga ilang-ilang”, kata seorang teman yang sudah lahiran cesar.
Yang paling parah menurutku, “orang yang lahiran cesar itu ga sempurna jadi seorang ibu karena ga ngerasain sakit”. Kata orang yang lahiran normal dengan jumawa.
Dan seterusnya…
Bahkan terkadang ada yang mengumumkan begini:
“Telah lahir putra/putri kami tanggal sekian, jam sekian. Berat dan Panjang sekian. Melalui proses persalinan normal”.
Rasanya jleb. Seolah persalinan normal adalah “prestasi”.
Kebetulan anak pertama kami lahir dengan proses persalinan normal (yang jadi idaman itu). Tapi, istriku harus lewati proses kontraksi selama 23 jam karena air ketuban pecah duluan. Mulai jam 9 pagi tanggal 15 Januari 2020 sampai lahir jam 8 pagi besoknya, tanggal 16 Januari 2020.
Dari mulai pecah ketuban di posisi bukaan 1, sampai jam 12 siang belum ada kemajuan pembukaan. Akhirnya dokter putuskan induksi (dirangsang kontraksi agar pembukaan semakin cepat). Tapi setelah sekian jam hingga jam 1 dinihari hanya mentok di pembukaan 4.
Saat itu ada batas tipis antara lahir normal dan cesar. Aku ada di posisi pasrah merelakan membawa istri ke ruang operasi untuk lahiran cesar. Di alam bawah sadarku saat itu sampai juga pada kondisi “melahirkan normal adalah prestasi”.
Tak lama setelah subuh, tiba-tiba istri rasakan kontraksi paling sakit dari sebelumnya. Ternyata saat dicek jam 6 pagi sudah pembukan 8. Mahira yang di kandungan melakukan pergerakan eksponensial. Lompatan pembukaan dari 4 menuju 8 dalam waktu kurang 1 jam.
Aku yakin saat itu tubuh istri memproduksi hormon endorfin yang berlimpah. Rasa sakit dikalahkan rasa senang akan ketemu bayi. Rasa yang katanya dialami pelari marathon pas masuki kilometer 40 sampai finish di 42 km.
Akhirnya lahir Mahira Dara setelah istri marathon menahan kontraksi 23 jam. Putri pertama kami lahir jam 8 pagi. Panjang 49 cm dan berat 3,1 kg dengan persalinan normal (ini ga diumumin, hehe).
Dan betul memang, 3 jam kemudian istri sudah kuat jalan.
Tapi poinnya, melahirkan normal dan cesar sama saja jika kita lihat ujungnya, yaitu anak lahir dengan selamat. Bagiku batasnya sangat tipis antara melahirkan normal dan cesar. Dan ternyata juga banyak ibu-ibu lain yang sudah rasakan kontraksi sekian jam dan akhirnya harus masuk ruang operasi untuk lahiran cesar.
Bahkan ada teman yang sudah divonis tak bisa lahiran normal karena suatu hal, tapi dia memilih tetap mau rasakan kontraksi. Kalau kata orang kampungku, “dicubo sampai saabih-abih main”. Dicoba sampai mentok.
Sejatinya melahirkan adalah perjalanan. Tiap-tiap orang punya perjalanannya sendiri yang tak perlu dibanding-bandingkan. Melahirkan cesar atau normal adalah cara untuk menempuh perjalanan itu.
Kesimpulannya, mari hentikan membahas dan menanyakan lahiran normal atau cesar. Karena itu bukan prestasi. Nanti saat masuk sekolah juga ga akan ditanya “dulu lahir cesar atau normal”.
Jadi, aku lebih suka menggunakan istilah non-cesar ketimbang normal.
Untuk yang sudah lahiran cesar maupun non-cesar, kalian hebat. Untuk yang sering bahas-bahas tentang lahiran normal/cesar, cepatlah sadar dan ga ulangi lagi karena itu bukan prestasi.
Bagi yang belum atau sedang proses melahirkan, selamat menikmati. Apapun prosesnya, itu adalah jalan yang dipilih bayi. Yang penting bayi lahir dengan selamat.
Selamat melewati perjalanan masing-masing. Tulisan ini untuk istri yang telah lewati perjalanan menempuh seluruh rasa sakit dan rasa ga nyaman dari mulai hamil sampai melahirkan.
Hint: kalau masih kepo juga lahiran non-cesar atau bukan, coba tanyakan “berapa lama dari bukaan 1 sampai bukaan 10? Hehehe.