Ne’e = naik
Ne’e = mau
Mau naik = ?
Siang itu pelajaran Bahasa Bima. Saya terpakasa harus mengisi kelas, menggantikan guru yang berhalangan hadir. Bukan orang Bima tetapi harus mengajarkan orang Bima berbahasa Bima, mungkin seperti perumpamaan “ibarat hewan yang hidup di darat mengajarkan ikan berenang”.
Saya memulai kelas dengan pertanyaan dalam bahasa Bima.
“Cou ma tei nggomi doho nggahi mbojo?” (Siapa yang ajarkan kalian bahasa Bima?).
“Irraee Pak eee tiwara ma tei mada doho, tanao ndai kese ni” (Gak ada yang ngajarin pak, kami belajar sendiri).
Catatan : Irraeee, innaeee, alaeee, adalah awalan yang sering digunakan tapi susah dijabarkan artinya. Hanya sebagai bentuk dari ekspresi dari kaget, tidak percaya, tidak sepakat.
“Jadi, bahasa itu tidak perlu dipelajari. Hanya perlu memperbanyak hafalan kosakatanya. Kalau sudah semakin banyak yang dihafal, nanti tinggal dihubungkan dan jadilah kalimat. Sesederhana itulah belajar bahasa. Kayak Pak Ryan ni yang belajar bahasa Bima. Tiap hari hafal beberapa kata, makin lama makin bisa Bahasa Bima.
Jadi, kalau mau belajar bahasa lain, begitulah caranya, termasuk belajar Bahasa Inggris yang kalian takuti itu”. *seolah terselip kesombongan dibalik monolog itu*
Sekian pengantar bergaya motivator di awal pembuka kelas. Saya berpindah ke tahapan mengajari Orang Bima Bahasa Bima.
“Anak-anak, bahasa Bima milik kalian itu adalah bahasa yang hebat. Kata-katanya mengandung arti dan makna. Contohnya kata ne’e yang artinya apa?”
“Mnauik, pak.”
“Arti satunya lagi.?
“Nmauik, pak.”
Catatan : Nmauik dan Mnauik adalah bunyi yang terdengar dari penggabungan mau dan naik yang diucap bersamaan. Ne’e artinya mau dan naik.
“Ok, sekarang semuanya ne’e ke atas meja.”
Ini adalah kali pertama saya menghalalkan mereka naik ke atas meja. Selama ini saya selalu memerintahkan sebaliknya.
“Bagaimana rasanya di atas meja?”
Beberapa menjawab pertanyaan itu dengan enak, dingin karena banyak angin (kepala mereka melewati ventilasi), terlihat lebih jelas, dan sebagainya.
“Jadi, kalau mau tempat yang enak, dingin, bisa melihat lebih jelas, maka naiklah. Naiklah ke kelas selanjutnya, ke jenjang sekolah yang lebih tinggi lagi, belajar di tempat yang lebih tinggi lagi. Hari ini kalian SD, di atas SD ada apa?”
“SMP pak, SMA pak, Kuliah pak.”
Kemudian saya memerintahkan mereka untuk naik dan turun beberapa kali. Perintah itu saya kombinasikan dengan syarat khusus, naik ke meja tanpa harus melewati kursi. Di antara peralihan perintah turun dan naik itu terdapat beberapa kali irraee, innaee, dan terdengar seperti irrnnaee (perpaduan keduanya).
“Gimana, lebih mudah naik atau turun?
“Turun, pak.”
“Lebih enak di bawah atau di atas?”
“Di atas sih pak (*gumam dalam hati, pantas kalian suka naik ke atas meja*)”
“Jadi, mau naik atau turun?”
“NAIK PAK”, semua teriak.
“Naik itu butuh usaha yang lebih dan kadang terasa lelah. Jadi jangan mudah menyerah. Mungkin nanti kalian akan jatuh, tapi jangan takut untuk naik lagi”.
Saya lanjutkan dengan tugas membuat tulisan mau “naik” ke mana, yang sebelumnya juga sudah pernah diberikan dalam bentuk kemasan lain. Menjelang akhir pelajaran yang artinya pulang, tugas itu saya jadikan PR. Saya lanjutkan dengan menyampaikan sekumpulan kalimat sakti yang beberapa kali pernah saya sampaikan di dalam kelas.
“Bapak bisa sampai di Bima sini karena naik pesawat. Dari Riau terus ke Jakarta, terus ke Bali dan sampailah di Bima. Naik pesawat itu enak, dikasih makan, minum, bisa lihat pemandangan yang ada di bawah. Terus bapak naik pesawat yang tiketnya dibayarkan orang. Kenapa bisa dibayarkan? Karena sekolah. Kalau bapak gak sekolah, mungkin bapak gak bisa sampai ke Bima dan ketemu kalian. Jadi, mau gak belajar dan naik kelas?”
“MAU PAK”.
Sekian kelas filosofi Bahasa Bima siang itu. Naiklah nak, nenek moyang kalian sudah mengajarkan kalau mau, maka naiklah. Kalau ne’e, maka ne’elah.
Comments 1