Seperti para pasangan muda lain, melahirkan dan membesarkan anak pertama adalah perjalanan penuh emosional dan spiritual. Dan tanggal 16 Juli ini anak pertama kami berumur 6 bulan. Dari perjalanan 6 bulan aku menyadari tujuan utama mengasuh anak adalah untuk membuat kenyang. Mengenyangkan Mahira adalah “jalan ninja” kami, kalau mengutip kata Naruto :D. Tulisan ini diberi nama #CeritaAyahNda, yaitu cerita megasuh anak dari sisi ayah. Semoga bermanfaat untuk yang belum, sedang, dan akan menjadi Ayah.
Check Point 6 bulan.
Mahira sudah berumur setengah tahun. Sudah 1 semester terhitung sejak 16 Januari kami berusaha mengenyangkan Mahira. Kalau disamakan dengan sekolah, ini udah lewat ujian akhir semester, udah terima rapor, dan bersiap masuk materi pelajaran yang baru.
Kalau di permainan game bertema race berbatas waktu, ini disebut check point. Artinya permainan masih bisa lanjut karena dapat tambahan waktu. Kalau di kantor Ibunya Mahira di Indonesia Mengajar, ini disebut penanda kemajuan (progress markers) menuju capaian dambaan (outcome).
Kalau di dunia kedokteran bagian spesialis anak, 6 bulan ini adalah fase bayi memulai MPASI (Makanan Pendamping ASI). Tapi bagi kami, umur Mahira yang 6 bulan ini adalah fase pemantapan MPASI karena Mahira sudah memulainya sejak umur 4 bulan. Nilai emosional dan spiritualnya jadi berlipat bagi karena MPASI dimulai sejak umur 4 bulan ketika yang lain normalnya baru mulai saat umur 6 bulan. Mahira sulit dikenyangkan dengan ASI yang efeknya berat badan (BB) Mahira ga naik maksimal sejak lahir.
Jadi begini ceritanya…
Tounge Tie (Tali Lidah) dan Lip Tie (Tali Bibir)
Alhamdulillah Mahira lahir dengan berat badan (BB) 3,1 kg. Setelah 3 hari masa pemulihan di Rumah Sakit, kamipun pulang dengan kondisi berat Mahira turun sebesar 400 gram. Kata dokter, suster, sosmed, dst, adalah hal yang wajar karena adanya penyusutan volume air berlebih dari badan bayi. Bisa dibilang bayi hidup di dalam “air” selama di kandungan. Air ketuban yang melindungi membuat badan bayi “bengkak” dengan cairan saat lahir.
“Nanti berat bayi akan kembali ke BB lahir setelah 1 minggu, terus aja dinenenin bayinya”, begitu kata Dokter.
Setelah 1 minggu, kami kembali kontrol ke rumah sakit dengan kondisi berat Mahira masih belum kembali ke BB saat lahir. Perasaan mulai was-was karena “check point” pertama belum berhasil dilewati. Berat Mahira belum kembali ke posisi saat lahir.
Masuk minggu ke-2, BB Mahira masih belum kembali ke BB lahir. Perasaan semakin gelisah karena capaian dambaan belum terwujud. Akhirnya memutuskan cari pendapat lain ke dokter laktasi lainnya. Jawabannya, terus nenen dan perbaiki pelekatan bayi. Pelekatan ini berarti posisi mulut bayi saat nyedot ASI.
Masuk minggu ke-3 berat Mahira masih belum bertambah. Kamipun makin was-was karena kayaknya Mahira makin kurus, BB ga juga naik tapi badannya makin Panjang. Beruntung istri sering tanya sana-sini tentang tumbuh kembang bayi dan akhirnya curiga kalau ada kurang pas di tubuh Mahira. Akhirnya kami cari pendapat dokter yang lain untuk mengonfirmasi asumsi kami. Dan betul, Mahira lahir dengan kondisi Tounge Tie (tali lidah)/Lip Tie (tali bibir).


Gais, kalau ada yang bilang perempuan ga perlu sekolah karena ujungnya bakal ngurus anak dan rumah, itu salah besar. Karena perempuan itu “Al-Ummu madrasatul ula”. Dia sekolah pertama bagi anak. Sebelum anak “bersekolah” dengan ibunya, maka bunya juga harus paham dengan makna sekolah dan belajar.
Tali lidah dan tali bibir ini membuat mulut bayi ga bisa terbuka lebar saat nyedot ASI. Sehingga pelekatannya kurang pas dan bikin ASI yang tersedot ga maksimal. Akibatnya bayi ga pernah kenyang, nangis terus, BB ga kunjung naik, dan muncul dampak lain. Akhirnya dilakukan “insisi” yaitu tali lidah dan tali bibirnya dipotong. Katanya tidak ada saraf yang dipotong dan juga hampir tidak ada darah akibat luka. Hanya bayi jadi kurang nyaman karena dipaksa buka mulut dan ada benda asing yang masuk ke mulutnya. Ga tega lihat dia nangis tapi namanya obat yang harus “ditelan” walaupun pahit karena itu menyembuhkan.
Kemudian Mahira dibantu Support Nursing System (SNS). Cara kerjanya seperti botol infus yang digantung di leher dan cairannya dikeluarkan lewat selang kecil yang ditempel di puting. Cairannya dikasih 2 pilihan yaitu susu formula atau ASI donor. Kami memilih pakai susu formula karena ASI donor susah ditemukan. Sambil Mahira menyedot ASI sekalian dia menyedot susu formula.
Kalau sebelumnya siklus Mahira adalah bangun setiap 15-30 menit setelah dinenenin berjam-jam, maka setelah itu langsung berubah. Setelah pakai diinsisi dan pakai SNS, Mahira langsung kenyang dan tidurnya nyenyak. Bisa sampai 2-3 jam ga terbangun dan berat badannya juga meningkat drastis.
Kemudian muncul pertanyaan, kok ga pakai botol dot? Karena ibunya Mahira memilih jalan menyusui langsung ketimbang pakai dot. Juga ingin menjalani fitrahnya sebagai perempuan yang diperintahkan lewat Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 233, “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan…”
Jadi tulisan ini didedikasikan untuk Ibunya Mahira, istri tercinta yang sedang menjalani fitrahnya sebagai perempuan dan kami beruntung bisa memilih jalan ini. Dan fitrah suami adalah mendukung Istri menjalani fitrahnya. Mengenyangkan Mahira adalah Jalan Ninjaku.
Jadi, bagi para netizen, hindarilah bertanya “kok bayinya kurus” atau pertanyaan “haram” lainnya ke pasangan yang baru punya anak. Karena mereka sedang berjuang dengan jalannya masing-masing untuk mengenyangkan anaknya. Mereka sedang melewati “jalan ninjanya” masing-masing.