Akhir-akhir ini nama Blok Rokan terkenal karena pemerintah mengambil alih penguasaan blok tersebut yang sejak sebelum Indonesia merdeka telah dikuasai oleh Chevron (Caltex). Mereka menguasai karena mereka yang pertama menemukan.
Menghangatnya isu Blok Rokan membuat saya terkenang masa kecil saat tinggal di area blok tersebut. Rasa-rasanya (kalau ga lebay), bolehlah saya sebut bahwa hampir seluruh kebutuhan hidup saya sejak lahir berasal dari dari minyak bumi yang keluar di blok tersebut. Papa saya bekerja di situ sebagai tenaga pengamanan, security bahasa kerennya.
Blok Rokan adalah ladang minyak bumi terluas di Indonesia yang lokasinya di Provinsi Riau. Duri dan Minas adalah lapangan dengan cadangan minyak terbesar di blok itu. Minyaknya disebut sebagai salah satu yang terbaik di dunia karena kadar belerang yang rendah.
Di masa jayanya tahun 1970-1980, setengah dari produksi minyak Indonesia berasal dari tempat itu. Setengah dari ekspor minyak Indonesia berasal dari Tanah Melayu itu. Setengah dari sumber keuangan Indonesia berasal dari tanah kelahiran saya. Tanah kelahirannya Sandiaga Uno, tanah tempat Ustad Abdul Somad tinggal, tempat PSPS bernaung, Tuan Rumah PON 2012, dan lainnya yang punya ikatan emosional dengan tanah itu.
Masa kecil saya terpapar oleh Industri Minyak Bumi dan komponen pendukungnya, salah satunya pompa angguk. Saya pernah beberapa kali diajak masuk ke area pengeboran minyak oleh papa saya. Tugas beliau adalah patroli dan saya ditunjukkan jejeran pompa angguk yang dia jaga.
Mungkin niatnya memberi inspirasi agar saya tertarik untuk mempelajari dan mungkin berharap anaknya menjadi insinyur minyak. Mungkin biar punya gaji besar, tapi saya memilih jalan lain (iya iya iya, sambil angguk-angguk).
Sekarang saya menyadari kalau daerah yang dulu saya lihat saat kecil adalah objek vital yang tidak semua orang bisa memasuki. Jadi saya beruntung bisa melihat dari dekat. Sebuah privilege karena papa saya bekerja di situ. Terkadang adalah wajar jika ada anak yang mendapat privilege karena siapa orang tuanya dan apa mereka kerjakan, setuju? Hehehe.
BLOK ROKAN DAN ISU NASIONALISASI
Saya sudah melewati yang oleh Malcolm Gladwel disebut sebagai “a ten thousand of mastering”. Yaitu waktu minimal yang harus dilewati seseorang untuk disebut ahli dengan mengerjakan hal tertentu secara konsisten dan terus menerus selama minimal sepuluh ribu jam.
Sebagai anak yang terpapar oleh minyak bumi sejak kecil membuat saya merasa “agak ahli” tentang minyak bumi. Lebih spesifik, keahlian di bidang pengalaman hidup sebagai anak dari seorang yang bekerja di perusahaan minyak bumi. Tentunya bukan ahli mengebor minyak bumi karena saya tidak mempelajari itu. Inspirasi di masa kecil dari Papa saya tidak berhasil, hahaha.
Sebenarnya isu nasionalisasi bukanlah hal yang baru. Jadi, jangan lekas terkesima kalau ada berita tentang pengambil alihan sesuatu oleh negara yang sebelumnya dikuasai asing.
Sekitar tahun 2000an ada isu yang menghangat bagi kami di kalangan anak-anak pegawai Caltex. Yang tentunya bersumber dari orang tua dan sumber lain yang dekat dengan kalangan istana pekerjaan di bidang minyak bumi.
Saya ingat saat itu diisukan bahwa Caltex sudah tidak punya banyak uang yang membuat logonya diganti karena diambil alih oleh perusahaan lain. Sehingga beberapa fasilitas perusahaan akan dihilangkan dan karyawan ditawarkan opsi pensiun dini.
Penyebab dari munculnya isu ini adalah berpindahnya pengelolaan salah satu blok yang dikuasai Caltex, namanya Blok CPP (Coastal Plain Pekanbaru). Setelah kemampuan dan volume otak saya bertambah, saya menjadi tau bahwa orang di balik perpindahan itu adalah mantan Direktur Caltex yang kemudian menjadi Direktur Pertamina. Namanya Baihaki H. Hakim. Dari info yang saya dengar, katanya itu kontribusi untuk bangsanya.
Jadi, nasionalisasi itu bukan barang baru. Paham? (angguk-angguk).
Bersambung…