Tanggal 16 Agustus hari ini Mahira berumur 7 bulan. Berarti udah 7 bulan belajar jadi Ayah. Proses belajar yang masa studinya tak terbatas dan penuh dengan kondisi terpaksa (kepepet). Dari proses belajar tadi tiba-tiba muncul berbagai skill yang TIDAK dibutuhkan di dunia kerja, tapi akan berguna bagi kelangsungan hidup anak.
Secara umum kebutuhan bayi baru sebatas makan biar ga lapar, tidur biar ga ngantuk, main biar ga bosan. Belum ada tuntutan minta beli mainan, beli HP, minta pulsa, minta jalan-jalan, atau sekedar minta kinderjoy pas lagi nunggu bayar di kasir minimarket.
Bayi belum menuntut minta beli mainan, beli HP, minta pulsa, minta jalan-jalan, atau sekedar minta kinderjoy pas lagi nunggu bayar di kasir minimarket.
Jadi, skill yang terlatih selama 7 bulan ini baru sebatas mengganti popok, memandikan, ngasih makan, dan main cilukba biar dia ga bosan. Itupun bisa karena agak terpaksa dan harus terus diupgrade karena nanti ga cukup hanya ngajak main dengan cilukba. Walaupun ibunya yang lebih ahli, tapi kalau kepepet ya kita bisa juga. Alah bisa karena biasa.
Menikah?
Suatu hari ketemu teman yang usia kami seumuran tapi dia belum menikah. Setelah ngobrol banyak hal sampai akhirnya dia bertanya apa enaknya menikah. Aku merasa ga layak menjawab karena usia pernikahanku baru seumur jagung. Lalu kujawab dengan jawaban template yang sudah ada.
“Kata orang bule, home is where the heart is. Enaknya menikah, kalau kita pulang ada yang nungguin. Ada hati kita yang menunggu di rumah”, eaaaaa, sambungku.
Tapi dia kurang puas dengan jawaban ini, terlalu indie mungkin. Lalu aku tanya kenapa dia belum nikah. Katanya, masih mau kerja dulu dan nyari uang. Sebenarnya itupun jawaban template. Karena untuk usia layak menikah tapi masih belum, biasanya berkisar di 4 hal:
- Mau nikah tapi belum ada calon. (belum sesuai kriteria, belum nemu yang cocok, belum dapat restu orang tua, dll).
- Terpaksa belum mau nikah karena ada kondisi tertentu (masih sekolah, ada ikatan pekerjaan, ada tanggunan, ga mau melangkahi kakak/abang yang masih belum nikah dll).
- Memang belum karena ketakutan tertentu (trauma karena ditinggal nikah, ga siap kehilangan zona nyaman, memang ga suka sesama jenis, dll).
- Kombinasi salah 2, 3, atau semuanya.
Jadi karena alasannya berkisar tentang itu, maka jangan nanya ke orang yang belum nikah tentang alasan kenapa dia belum nikah. Apalagi kalau udah lama ga ketemu atau lama ga ngobrol. Banyak pertemanan atau mood yang hancur karena pertanyaan tipe ini, hahaha.
Jangan nanya ke orang yang belum nikah tentang alasan kenapa dia belum nikah. Apalagi kalau udah lama ga ketemu atau lama ga ngobrol. Pertemanan dan mood bisa hancur karena pertanyaan ini.
Lalu kupakai analogi untuk menjawab pertanyaan teman tadi. Menikah itu adalah hubungan sebab-akibat yang memunculkan konsekuensi. Gugur satu kewajiban dengan konsekuensi muncul kewajiban baru. Hilang sebuah hak dengan konsekuensi mendapatkan hak yang baru. Setiap konsekuensi membutuhkan komitmen.
Nikah itu mirip dengan kerja. Dulu sebelum kerja masih bisa punya hak begadang, bangun siang, kegiatan bebas, dll. Kalau udah kerja harus bangun lebih pagi karena harus ngejar ke tempat kerja, ada kewajiban absen, rapat, tugas, dll. Ada hak yang hilang tapi muncul hak baru kayak dapat gaji.
Menikah itu adalah hubungan sebab-akibat yang memunculkan konsekuensi.
Ahli dulu atau latihan dulu?
Setelah coba merenungi dan mencari hikmah, rasanya nikah dan punya anak ini bisa dianalogikan kayak melatih skill. Kita harus latihan dulu untuk nanti menjadi punya skill. Mirip teori 10.000 jam nya Malcom Gladwell. Kata Gladwell, orang itu akan ahli dalam bidang apapun kalau sudah melakukan hal tersebut sampai 10.000 jam. Untuk menjadi ayah dan ibu memang butuh keahlian, tapi kalau ga dijalani ya ga akan sampai ke tahap ahli.
Maka harap dimaklumi kalau ada papa dan mama yang masih kurang pas dalam ngasuh anak. Biasanya yang berisik ini suara dari keluarga, tetangga, dan netizen. Namanya latihan ya pasti ada salah, kurang, khilaf.
Di umur Mahira yang 7 bulan ini aku udah bisa gantiin popok, mandiin, pakaikan baju karena beberapa kali terpaksa ngerjain itu. Walaupun tetap saja ibunya yang lebih ahli.
Tapi di luar keahlian itu, sebagai laki-laki ada baiknya juga punya skill dasar kayak nyuci baju dan piring, masak, masang tabung gas, ganti galon dispenser, ganti bohlam, masang gantungan dinding, merakit barang yang dibeli di Ace Hardware, Ikea, Informa, dsj. Mirip keahlian anak kos sih, tapi yang ini agak lebih kompleks.
KEAHLIAN DASAR INI HARUS ADA DI SEMUA PRIA
Kalau kata Alm. Ayahku, jangan jadi “sutan balanjo” yang sedikit-sedikit bayar orang lain untuk ngerjakan sesuatu. Jangan jadi orang “gadang sarawa” yang penakut ga bisa ini itu.
Makin ke sini juga kayaknya perlu untuk punya kemampuan mengendarai mobil dan motor. Jangan jadi laki-laki tak ber SIM A apalagi C. Apalagi untuk keluarga-keluarga yang hidup merantau ini. Punya keahlian berkendara akan mendekatkan kampung halaman. Apalagi Indonesia yang semakin maju karena makin banyak jalan tol di zaman Presiden terbaik kita saat ini 😊.
Skill Agama
Sebenarnya kalau dibawa ke Agama Islam, ada hadist sahih “Ajarilah anak-anakmu berenang, memanah dan menunggang kuda”. (H.R Bukhari Muslim).
Menunggang kuda mungkin sama dengan kemampuan berkendara untuk zaman sekarang. Jadi perlu juga ngajari anak untuk bawa kendaraan karena ada hadistnya. Selain tentunya ngajarin ngaji, sholat, puasa, dan ibadah lain.
Bicara tentang agama, ada 1 doa yang dulu kami amalkan setelah menikah. Ini doa Nabi Zakaria yang memohon diberi anak di usianya yang sudah sepuh. Akhirnya dikabulkan dan lahirlah Nabi Yahya. Ada di Surat Al Anbiya (Surat ke 21) Ayat 89:
Ini memang doa minta anak, tentunya berlaku untuk yang sudah menikah. Tapi bisa juga dibaca untuk yang belum menikah. Karena kalau minta anak, harusnya sekalian dikasih jodoh. Jadi, doa ini dia sifatnya “sambil menyelam minum air” untuk yang belum menikah.
Bersambung…
Tulisan selanjutnya: